ENTREPRENEURSHIPS, PROFESIONALISME DAN MENTAL MEMILIKI
Beberapa waktu lalu, saya berdebat dengan seorang teman trainer yang membedakan antara ‘entrepreneur’ dan ‘karyawan’. Ketika itu, saya mengemukakan konsep pelatihan yang membentuk pemahaman bahwa karyawan pun bisa menjadi entrepreneur, sementara teman saya itu mendebat dengan mengatakan kalau begitu caranya maka karyawan akan keluar semua lantas berwiraswasta.
Menurut teman saya itu, seorang ’entrepreneur’ adalah pengusaha, sedangkan karyawan atau ’orang yang kerja ikut orang’ bukanlah entrepreneur. Saya tidak setuju itu. Entrepreneur dan karyawan bukan sebuah oposisi biner. Seorang karyawan pun bisa menjadi entrepreneur, karena di sini persoalannya bukan status kepemilikan tapi mental memiliki.
’Mental memiliki’ ini yang kelihatannya sederhana tapi susah diwujudkan jika seseorang tidak memahami apa yang digelutinya dengan falsafah yang tepat. Itulah sebabnya teman trainer tersebut sulit memahami bahwa karyawan pun bisa menjadi entrepreneur. Dibutuhkan sebuah cara melihat kedalaman realita pada bidang yang digeluti agar seseorang mampu sampai pada ’mental memiliki’. Dan hal seperti ini, bukan terbentuk secara instan, melainkan membutuhkan proses. Inilah yang barangkali simetri dengan apa yang dikatakan Nietzche: ”Terhadap apa-apa yang dituliskan, aku hanya menyukai yang ditulis dengan darah. Menulislah dengan darah, dengan begitu kau akan belajar bahwa darah adalah roh”.
Menjadikan bidang yang digeluti sebagai roh memang membutuhkan sebuah perjalanan yang mungkin berdarah-darah. Dengan demikian, maka akan terjadi kemenyatuan antara diri kita dan apa yang kita geluti. Keterkaitan yang saling menghidupkan sehingga muncul mental memiliki. Di sinilah kemudian saya melihat bahwa entrepreneurships memiliki keterkaitan dengan profesionalisme. Seorang pekerja dengan level profesionalisme tertentu, adalah juga entrepreneurships.
Bagaimana saya bisa mengatakan seperti itu? Dalam penelitian saya di tahun 2000 mengenai profesionalisme, yang berjudul ”Konsep Perilaku Profesional (Profesionalisme) pada Tenaga Kreatif di Biro Iklan – Studi berdasar Grounded Theory pada Biro Iklan Surabaya”, saya menemukan sebuah pemahaman bahwa profesionalisme bukan semata persoalan imbalan, melainkan suatu level kemampuan yang dikembangkan lewat keputusan-keputusan tepat atas kemampuan tersebut. Kapasitas memutuskan ini tidak bisa begitu saja terbentuk, karena dibutuhkan pemahaman mendalam atas apa yang tengah digelutinya.
Barangkali kita bisa memertemukan apa yang saya ungkapkan itu dengan apa yang ditulis Hermawan Kartajaya pada seri ke-14 dari rangkaian 100 tulisan Grow with Character!. Di situ Hermawan menulis, bahwa makna entrepreneur tak selalu diterjemahkan sebagai ”pengusaha”. Hermawan mencontohkan Ciputra yang pernah menantang para anak buahnya untuk menjadi ’entrepreneur’. Caranya? Diberi kebebasan untuk melakukan apa saja, asal niatnya baik dan mencapai target! Anggap saja Anda yang punya perusahaan itu. Ciputra adalah seorang yang menekankan pentingnya entrepreneurships, bukan hanya pada pengusaha, tapi juga karyawan. Bahkan menurutnya, entrepreneurships bisa memberi kontribusi positif bagi perkembangan bangsa ini.
Hal ini tentu saja tidak mudah. Lha wong kenyataannya bukan perusahaan saya, kok disuruh merasa memiliki. Di sinilah saya ajak Anda untuk memahami kata kunci ”profesionalisme”. Ketika kita bicara profesionalisme, maka kita bicara lebih dari sekadar seseorang dengan keahlian dan bayaran tinggi yang dipekerjakan di suatu perusahaan. Dalam ’profesionalisme’ intinya ada pada perilaku. Sebuah intensitas melakukan sesuatu yang berasal dari rasa memiliki akan apa yang digelutinya. Rasa memiliki karena apa yang digeluti itu ibarat darah yang mengalir dalam tubuhnya. Profesi dengan demikian menjadi roh yang menghidupkan orang yang menggelutinya.
Jika seorang profesional bekerja di suatu perusahaan, maka rasa memiliki perusahaan itu muncul dari kemenyatuannya dengan profesinya, yang pada saat itu berjalinan dengan sebuah perusahaan. Dalam penelitian saya, salah satu ciri profesionalisme adalah level kemampuan yang dimiliki seorang profesional akan mengundang kemampuan lain untuk berjalinan dengannya. Di sinilah kita bisa masuk lebih dalam pada pemahaman bahwa sebuah perusahaan adalah sebuah organisasi. Kata dasarnya adalah ’organ’. Jadi, ibarat bertemunya berbagai fungsi yang saling berjalinan dan oleh karenanya merasa memiliki satu sama lain.
Jadi, seorang profesional yang sudah mencapai titik tertinggi pemahaman akan profesionalisme, maka ia akan sekaligus juga seorang entrepreneur. Ini karena pada titik pemahaman tersebut, ia mengembangkan dirinya lewat apa yang digelutinya dan bagaimana yang digeluti itu juga mengembangkan perusahaan yang menaungi. Dirinya sebagai profesional adalah juga perusahaan tempat ia bekerja, perusahaan tempatnya bekerja adalah juga dirinya sebagai profesional.
Persoalan berikutnya tentu adalah bagaimana membentuk mental seperti itu?
Entrepreneural Habit
Mencapai mental memiliki seperti itu, bukan persoalan mudah. Titik menyatunya entrepreneurships dan profesionalisme dalam rasa memiliki ini bukan saja membutuhkan waktu panjang, tapi juga bagaimana ada suatu etos atau roh yang terbentuk menjadi habit.
Di sinilah mungkin pentingnya pendidikan entrepreneurships yang mulai banyak diselipkan di perguruan tinggi. Menurut saya, bahkan semestinya sudah agak terlambat ketika entrepreneurships diajarkan sejak di perguruan tinggi. Pembentukan habit tidak akan mudah dilakukan pada individu yang telah dewasa. Pendidikan entrepreneur mestinya diajarkan lebih dini lagi. Pendidikan profesionalismelah yang semestinya mulai diajarkan ketika orang sudah mulai memilih bidang (baca: arah studi di perguruan tinggi). Di sini pun terjadi salah-kaprah dengan adanya program-program magister profesi yang berada pada jenjang S-2. Seolah-olah orang baru bisa profesional ketika sudah menempuh pendidikan S-2, padahal profesionalisme adalah masalah perilaku yang menyatu dengan bidang yang digeluti.
Profesionalisme, semestinya merupakan pengembangan lebih jauh di perguruan tinggi karena di situ orang mulai memilih bidang. Sedangkan entrepreneurships, adalah dasar yang semestinya sudah tertanam di jenjang sebelumnya. Dengan bekal pendidikan entrepreneurships yang memadai di jenjang sebelumnya, maka ketika memahami profesionalisme, seseorang akan lebih mudah memahami bahwa pada titik tertentu, seorang profesional adalah juga entrepreneur.
Bagaimana pendapat Anda?
Sumber: Andrie Wongso
Sumber: Cerita Motivasi & Inspirasi
0 Response to "ENTREPRENEURSHIPS, PROFESIONALISME DAN MENTAL MEMILIKI"
Post a Comment