PUASA DALAM SEJARAH AGAMA-AGAMA
“Seluruh amal ibadah bani Adam adalah miliknya, dan setiap kebaikan akan dibalas sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat. Allah berkata; kecuali ibadah puasa, sesungguhnya ia adalah milik-Kua dan akulah yanglangsung membelasnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Iftitah Para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa shaum di bulan Ramadhan adalah ibadah yang wajib dilaksanakan karena ia merupakan bagian dari rukun Islam yang wajib pula untuk diimani berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra (Mutafaq alaihi. Al Bukhari dalam Kitabul Iman, bab Qaul nabi; Buniyal Islam ‘ala khomsin no.8, Muslim dalam Kitabul iman, bab Arkanul Islam no.16)).
Keimanan yang menjadi fundamen keyakinan setiap muslim ini menyebabkan seseorang tertolak keislamannya bila terjadi pengingkaran terhadapnya. (Khalil Hirras, tahqiq Alawiy Saqqaf, Syarah ‘Aqidah Wasithiyah, hal.62)
Ibadah shaum merupakan rangkaian ibadah yang telah menjadi syari’at rasul-rasul sebelumnya, sebelum Islam disempurnakannya melalui kerasulan Muhammad saw. Hal itu berdasarkan firman Allah SWT; kama kutiba ‘alalladzina min qablikum (sebagaimana telah diwajibkan atas ummat sebelum kamu) (QS. Al Baqarah:183).
Aktifitas shaum pernah dilakukan oleh nabi Daud as, Musa as, Isa as, dengan jumlah yang berbeda-beda menurut syari’atnya masing-masing (Lihat. Ibnu Katsir, Tafsyir Al qur’anil ‘Adzim, jilid II, hal. 187).
Dr. A’id al Qorni menambahkan, bahwa kebiasaan nabi Nuh as melakukan shaum selama seratus tahun, sementara nabi Daud as melakukan sehari shaum sehari berbuka, atau nabi Isa as dengan sehari shaum dua hari berbuka. Sementara menurut kajian antropologi dan sejarah, para ilmuwan telah menemukan banyaknya bukti-bukti bahwa kegiatan menahan makan dan minum atau bahkan menahan tidur serta aktifitas seksual, telah pernah dilakukan oleh bangsa-bangsa kuno berabad abad lamanya. Sebagai contoh, sebelum kedatangan Islam bangsa Mesir kuno telah mengenal istilah puasa dan melakukannya selama 5000 tahun. Demikian juga bangsa Romawi dan Yunani kuno sebelum datangnya agama kristen. Mereka semuanya berpuasa ketika akan menghadapi sebuah peperangan besar, atau dalam ajaran rakyat Romawi dilakukan ketika mendapat serangan dari musuh. Hal itu dimaksudkan untuk mendapatkan perlindungan serta kekuatan dari para dewa-dewa yang mereka yakini. Bahkan menurut kebudayaan mereka, para dewa hanya akan menyampaikan visinya melalui wahyu kepada para rahib setelah mereka (para rahib) melakukan puasa beberapa hari lamanya.
Sementara kepercayaan rakyat Babylon purba menganggap puasa sebagai suatu cara untuk menebus dosa-dosa yang dilakukan. Hanya penganut kepercayaan Zoroastrianisme yang sama sekali bersikap acuh terhadap puasa, sebab mereka memandang bahwa kekuatan jahat sama sekali tidak akan deapat ditundukkan melalui pelaksanaan puasa.
Agama-agama besar di abad modern saat ini juga masih mempercayai kekuatan puasa sebagai proses meditasi mencapai kedalaman spiritual. Di China, dahulu mereka mengenal puasa yang dilakukan untuk mengahadapi upacara pengorbanan pada malam Solstis (musim sejuk saat Tuhan dipercaya melakukan kitarannya yang baru), hanya saja semenjak tahun 1949 kebiasaan ini dilarang oleh para pembesar. Istilah Chai (ritual puasa fisik) pernah juga dilakukan bangsa ini, akan tetapi kemudian dimodifikasi oleh aliran Taoisme yang saat ini menjadi Hsin Chai (puasa jiwa). Dalam ritual agama Budha-pun demikian halnya, para biarawan berikut biarawati masih tetap melakukan puasa (makan satu hari sekali) dan puasa penuh sehari dalam permulaan bulan, walaupun sebenarnya ajaran Shidarta Gautama telah melakukan moderasi yang berbeda.
Agama Hindu, sebagaimana yang tertuang dalam kitab Manawa Darmasastra menyebutkan kewajiban puasa ketika akan menghadapi hari raya keagamaan seperti Nyepi dan Siwaratri. Mereka melakukan ragam puasa yang bentuknya berbeda-beda cara pelaksanaannya (Lihat, Pustaka Manawa Darmasastra, jilid XI, sloka. 211-221).
Agaknya, ada beberapa ritual puasa agama ini yang mirip dengan Islam. Adapun hal itu sangat dimaklumi keberadaannya sebab berita tentang nubuah kerasulan Muhammad saw-pun terdapat pula dalam kitab mereka (Lihat. Atharvaveda Kanda 20, Saukata .127, Mantra. 1-2) Agama Yahudi dan Kristen sebagai agama yang pernah mewariskan risalah at Tauhid, masih mempercayai keberadaan puasa sebagai ibadah kepada Tuhan mereka; Yahwe (Tuhan Yahudi) atau Yesus (Tuhan Nasrani). Berdasarkan pada kitab Daniel, pasal. 10:3, II Samuel, pasal 12: 16-20, Yesaya, pasal 58:6-7 umat Yahudi menjalankan puasa sesaui dengan fatwa para pendeta mereka. Sementara di dalam agama Kristen, Yesus dikatakan pernah melakukan puasa 40 hari 40 malam lamanya (Injil Matius, pasal 4:2) sebagaimana Musa juga pernah berpuasa 40 hari sebelum menerima perintah Tuhan dalam Taurat (Kitab kelauran, pasal 24:12).
Akan tetapi, tidak ada kejelasan yang pasti tentang rutinitas puasa kedua agama ini, dikarenakan mereka telah memodifikasi cara beribadah melalui penafsiran yang beragam. Hingga kita bisa melihat bahwa keputusan geraja Roma Katolik telah memberikan kebebasan yang luas menyangkut cara pelasanaan puasa, demikian pula gereja Protestanpun menyerahkan aktivitas ini sepenuhnya kepada individu jemaat. Puasa didalam Islam. Islam, dengan turunnya wahyu Al qur’an telah membuat istilah shaum (Indonesia: Puasa) dengan memiliki definisinya sendiri. Shaum yang dimaksud adalah menyempurnakan syarat syah shaum dengan menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya berdasarkan prespektif syara’. Sehingga istilah shaum sangat tidak tepat jika disamakan dengan kata puasa menurut keumuman yang ada sebab ia berbeda dari segi pelaksanaan menurut waktu dan keadaan, serta berbeda tujuannya (mentauhidkan Allah dengan uluhiyahNya).
Penggunaan istilah ini adalah sebuah proses islamisasi didalam Islam yang dimulai dengan melakukan isalmisasi Iinguistik (bahasa) semenjak diturunkannya bahasa Al qur’an kepada penduduk Makkah ketika itu. Seterusnya, pengaruh islamisai ini berlanjut pada islamisasi pemikiran rasionalitas agar ia sesuai dengan ketentuan wahyu (Lihat, Syeed M.N. Al Attas, Islam and Scularism, hal. 42-43).
Di dalam Islam, shaum sunnah dan shaum wajib telah diselesai didefinisikan oleh para ulama. Dan kaum muslimin harus meyakini bahwa ketentuan hukum yang dibawa oleh Rasulullah saw merupakan ketentuan syari’at yang paling sempurna, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyyah (Lihat. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, I’lamul Muwaqqi’in, jilid III, hal. 126). Kita dapat melihatnya ketika ibadah shaum ini telah pula mendapatkan legitemasi dari Al qur’an dan As Sunnah, yang tidak boleh dimodifikasi oleh ketentuan akal. Oleh sebab itulah, dalam hal ini, kaum muslimin melakukan ibadah puasa dibulan Ramadhan dengan syari’atnya yang baku, diyakini sebagai iabadah yang mengandung hikmah disetiap pensyariatannya, dan bukan merupakan hasil inisiatif seseorang atau ulama tertentu, sebab ia merupakan sunnah (petunjuk) yang wajib dilakukan berdasarkan contoh dari Rasulullah saw. Dikarenakan puasa merupakan ibadah yang secara jelas di perintahkan berdasarkan dalil yang qhat’i (jelas), maka kewajiban kaum muslimin adalah taslim (menerimanya).
Imam Muhammad bin Syihab Az Zuhri mengatakan;“ Allah yang menganugerahkan risalah (mengutus para rasul), kewajiban para rasul adalah menyampaikan risalah, dan kewajiban kita adalah tunduk dan taat (H.R Bukhari, kitab At Tauhid, Fathul Barri, jilid XIII, hal. 503). Hal ini diperkuat lagi dengan ungkapan Imam As Syatibi bahwa tidak ada perubahan pada (hukum yang diperintahkan Allah secara jelas), meskipun para mukallaf (orang dewasa) tentang hal itu berfariasi. Oleh sebab itu, sesuatu yang sudah dianggap baik (berdasarkan dalil), tidak mungkin menjadi buruk dikemudian hari (Lihat. Imam As Syatibi, Al muwaffaqat, jilid II, hal. 209)
Sumber: Cerita Motivasi & Inspirasi
0 Response to "PUASA DALAM SEJARAH AGAMA-AGAMA"
Post a Comment