NAMAKU KARTINI, BUKAN SITI NURBAYA


Kartini, itulah nama pemberian orang tuaku. Nama yang singkat tapi mengandung makna yang dalam. Tentu saja karena namaku sama dengan nama Pahlawan nasional. Orang-orang biasa memanggilku Kar atau Tini. Apalah artinya sebuah nama kalau nasibku tak jauh berbeda dengan lirik sebuah lagu bagai burung dalam sangkar atau bagai hidup di sangkar emas Aku tak dapat mengepakkan sayapku. Aku tidak dapat menentukan masa depanku sendiri. Di usiaku yang baru enam belas tahun aku dipaksa mengakhiri masa remajaku, menikah dengan Mas Joko, putra juragan Sastro, orang terkaya di desaku.

Saat ini aku sedang menanti kelahiran anak pertamaku. Suamiku tentu saja cuek dengan kehamilanku, apalagi memikirkan nama untuk anakku. Maklumlah suamiku memang belum menginginkan kehadiran anak di rumah kami. Maunya hanya senang-senang saja. Dasar laki-laki. Beda dengan mertuaku yang begitu gembira menyambut kelahiran cucu pertamanya. Sebenarnya mertuaku menyuruhku USG biar bisa mengetahui jenis kelamin dan posisi bayi, sudah tepat atau belum. Tapi Mas Joko melarangku. Menurut Bu Bidan tempatku kontrol, anakku nanti perempuan. Ada-ada saja orang sekarang ini, suka mendahului kehendak Tuhan. Kalau aku sih pasrah, bagiku sama saja laki-laki atau perempuan. Apa yang bisa dilakukan oleh perempuan lemah seperti aku? Yang penting kalau perempuan nasibnya jangan semalang aku. Dan kalau laki-laki jangan seliar dan sebrutal bapaknya. Menjadi anak shaleh atau shalehah, itulah doaku setiap saat.

Untung masih ada Lastri sahabatku yang selalu menguatkanku. Secara sembunyi-sembunyi Lastri selalu memberikan bacaan kepadaku yang dipinjam dari perpustakaan sekolahnya. Aku yang hobi membaca, seperti orang kalap saat membaca berbagai buku dari Lastri. Lumayanlah biar tidak terlalu kuper. Aku bisa membaca karyanya Andrie Wongso, Andrea Hirata, dan Habiburahman El Sirazy juga pengarang ternama lainnya. Lastri memang sahabat sejatiku, dia tetap ada di sampingku walaupun orang lain mencemoohku.

Malam semakin larut. Udara dingin terasa menusuk tulang. Entah sudah berapa kali aku menguap. Kurebahkan badanku di kursi tamu yang menjadi tempat favoritku saat menunggu Mas Joko. Kembali kulayangkan lamunanku pada masa kecilku. Waktu itu bulan April. Guruku memberi pengumuman kalau dalam rangka peringatan hari Kartini anak perempuan disuruh pakai kebaya dan yang laki-laki pakai blangkon. Duduknya pun berpasang-pasangan. Dan aku dipasangkan dengan Satrio putranya Pak Lurah. Teman-temanku banyak yang menggodaku dan aku hanya tersenyum malu dan sedikit bangga. Siapa sih yang tidak bangga dipasangkan dengan anak tertampan dan terpandai di kelas? Ini nih akibatnya kalau sering nonton teenlit, itu tuh sinetron remaja yang setiap hari tayang di salah satu TV swasta. Masih bau kencur tapi sudah ngerti cinta-cintaan. Katanya sih kami pasangan serasi. Yang laki-laki tampan dan yang perempuan cantik, sama-sama pandai lagi. Tapi menurutku kami jelas jauh berbeda, Rio begitulah teman-temanku memanggilnya, anak orang kaya sementara aku anak orang miskin. Bisa makan setiap hari saja sudah untung. Bagaikan langit dan bumi.

“Mbok apa betul aku ini cantik?” Tanyaku pada simbok saat pulang sekolah.

“La jelas to Nduk. Sejak lahir kamu sudah kelihatan cantik. Wajahmu bundar dan bersinar seperti bulan purnama. Makanya ayahmu memberimu nama Kartini. Biar kamu seperti Raden Ajeng Kartini, cantik, cerdas, dan berbudi luhur.” Jawab simbok sambil mengelus-elus rambutku yang katanya seperti mayang terurai.
Aku melanjutkan perbincanganku dengan simbok.“Tapi di depan namaku kok nggak ada raden ajengnya to Mbok, biar sama dengan Raden Ajeng Kartini?” Protesku pada simbok.
“Huss jangan ngaco kamu. Raden Ajeng itu hanya untuk trah ningrat, keturunan darah biru, sementara kamu kan anaknya simbok sama Bapak, rakyat jelata. Ngerti nggak kamu?” Kata simbok sambil menyilangkan satu jarinya di depan bibir.
“Oh ya simbok dengar kamu tadi nyanyi lagu Ibu Kartini ya. Coba kamu ulang lagi, simbok pengin dengar sekali lagi. Nyanyi yang bagus ya biar besuk Kamu simbok dandani yang cantik”
‘Seperti Ibu kartini ya Mbok.’
‘Ya…ya …seperti Ibu Kartini.” Sahut simbok seraya tersenyum
Dengan semangat aku nyanyi lagu Ibu Kita Kartini

Ibu Kita Kartini Putri Sejati
Putri Indonesia harum namanya
Ibu kita Kartini pendekar bangsa
Pendekar kaumnya untuk merdeka
Wahai Ibu Kita Kartini Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya bagi Indonesia
…………………………………………….

Lamunanku pada masa kecilku sudah berakhir. Kartini…Kartini…. Aku menggumam namaku sendiri. Takseharusnya namaku Kartini, tokoh emansipasi karena hidupku justru terbelenggu. Harusnya ayahku memberiku nama Siti Nurbaya. Seperti nama tokoh dalam novel Siti Nurbaya karangan Marah Rusli. Perjalanan hidupku juga sama dengan tokoh Inayah dalam sinetron Hareem itu loh yang tokohnya diperankan oleh Sandy Aulia yang pernah ditayangkan di indosiar.

Aku jadi teringat teman-teman SMP-ku yang dijuluki playboy karena suka gonta-ganti pacar. Aku tak pernah lupa dengan rayuan gombalnya. Ardi memang jago merayu. Kalau sedang merayu semua majas digunakan. Ya metafora, personifikasi, hiperbola, kecuali majas sinisme, sarkasme, dan ironi. Berbagai puisi juga ditulis dari puisi lama sampai puisi baru. Kalau dia bisa puisi kontemporer pasti akan dibuat juga untuk menaklukkan hati cewek. Seperti puisinya Darmanto Jatman yang berjudul Main Cinta Model Kwang Wung atau puisinya Sutarji Calshoum Bahri yang berjudul Shanghai. Aku kembali teringat nama untuk anakku. Apa ya nama yang baik untuk anakku. Kuelus-elus perutku yang makin besar sambil kuajak berdialog. “Nduk cah Ayu, kamu mau dikasih nama apa sayang?”
Aku jadi ingat novelnya Andrea Hirata yang keempat, yang berjudul Maryamah Karpov. Sepertinya lucu ya. Tapi apa artinya? Aku teringat nasihat guru agamaku. Kalau nama adalah doa. Dan anak berhak mendapatkan nama yang baik.

Kali ini aku berpikir lebih keras lagi. Kutemukan nama Bunga Citra Lestari (BCL), bintang sinetron sekaligus penyanyi, istri dari Asraff Sinclair. Berkelebat dalam ingatanku sosok BCL yang selalu tampil seksi. Aku jadi merinding sendiri membayangkan anakku kelak memakai baju yang kurang kain seperti BCL. Kalau pun aku tidak pakai jilbab tapi pakaianku tetap sopan. Aku tidak mau menodai namaku yang sama dengan nama pahlawan nasional. Sebenarnya aku ingin pakai jilbab tapi aku aku tidak kuat mendengar cibiran masyarakat. Istri seorang pemabuk dan penjudi saja kok sok alim memakai jilbab. Nuraniku terlalu lemah. Aku jelas tidak sanggup mendengar perkataan seperti itu.

Tiba-tiba aku teringat istri-istri Rasul, ya Aisyah nama yang cantik. Nama Ummul Mukminin yang sangat dicintai Rasulullah,.bahkan Rasul pun wafat di pangkuan beliau. Tapi apa suamiku setuju nama anaknya berbau Islam? Suamiku walaupun di KTP beragama Islam tapi tidak pernah shalat lima waktu. Paling-paling shalat Idul Fitri, setahun sekali. Aku harus berpikir lagi mencari nama yang sesuai untuk anakku, sambil menunggu kepulangan suamiku. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam tapi Mas Joko belum datang juga. Kuelus kembali perutku, anakku gerak-gerak seakan merasakan keresahan hati ibunya.

Aku kembali memikirkan nama untuk anakku. Entahlah, aku benar-benar terobsesi untuk menemukan nama yang cocok untuk anakku.Banyak nama yang bermunculan. Aku jadi banyak pilihan sekarang. Bagaimanapun juga nanti akan kusampaikan pada suamiku, biar dia yang memilih nama untuk anaknya. Pilihan namaku bertambah, ada sosok yang pintar seperti Hillary Clinton, Menlu Amerika Serikat. Loh nanti gimana manggilnya? Masak Hill atau Lary, nanti masyarakat bingung tidak tahu cara manggilnya. Lagian artinya aku juga tidak tahu . Yang jelas Hillary sosok yang cerdas dan memiliki pengaruh yang besar di Amerika Serikat. Loh aku kok jadi kebarat-baratan sih. Aku hanya ingin kelak anakku memiliki kecerdasan seperti Hillary. Hanya itu yang sebenarnya kukagumi dari sosok Istri mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton
Yang kedua ini nama pengarang favoritku Helvy Tiana Rosa (HTR). Memang sih aku tidak tahu artinya tapi sosok HTR sangat luar biasa, dia berdakwah lewat tulisan. Panggilannya bisa Helvy, Tiana, atau Rosa. Karyanya yang sangat berkesan adalah novel yang berjudul “Ketika Mas gagah Pergi”.Ada Rosanya lagi, kan nama penyanyi favoritku yang pernikahannya kandas di tengah jalan. Rosa adalah sosok yang tegar sama dengan lagunya yang berjudul tegar. Tapi ibu dan bapak pasti menolak dan mengatakan, “Namanya terlalu bagus, terlalu berat, nanti anakmu tidak sanggup menanggung namanya, dia bisa sakit-sakitan dan rewel.” Aku sih tidak percaya mitos seperti itu, tapi aku harus menghargai orangtuaku, walaupun aku sangat menyesali keputusannya.

Aku melanjutkan lamunanku. Berkelebat kenangan masa SMP. Hari ini pengumuman kelulusan, aku dan Lastri pulang dengan gembira. Seperti janjinya, Lastri menraktirku bakso dan es degan saat kami dinyatakan lulus. Sambil menikmati makan Lastri bercerita dan aku menjadi pendengar setia. Lastri yang terus nyerocos menceritakan masa depannya dan meluapkan kegembiraannya.
Tiba-tiba Lastri sok bijak memberi saran. “Wah pasti senang sekali ya bisa masuk SMA favorit, katanya sih di sana banyak pengembangan diri (PD) atau ekstrakurikuler. Kita ikutan PD apa ya Tin? Kamu ikut PD jurnalistik aja. Kamu kan senang nulis.” cerocos Lastri sok tahu

“Dan kamu, kan suka ngomong, ikutan PD pidato saja ?” Balasku ikut-ikutan sok tahu.
Langsung aja Lastri mencubit lenganku, sambil tertawa lepas menikmati kegembiraan kelulusan.
“Masak ada PD pidato Tin? Aku mau ikut PD teater aja ah biar bakat aktingku tersalurkan. Siapa tahu dapat main film seperti Acha Septyarsa atau main sinetron seperti Nikita Willy. Aku nggak kalah cantik kan dengan mereka?”
“Ya kalau dilihat dari lubang semut atau lubang jarum.” Kataku sambil tertawa dan pulang naik sepeda. Sepanjang jalan kami tertawa. Tiba-tiba Lastri bertanya padaku.
Nanti kita daftar bareng ya Tin, pokoknya kita sama-sama terus. Ada Lastri ada Tini.Semoga kita satu kelas agar bisa belajar bersama. Kamu yang mengerjakan dan aku tinggal kopi paste alias nyontoh. He…he…he…Loh kok diam sih Tin?”

“Nggak apa-apa. Gimana aku nggak diam kalau dari tadi kamu berkicau saja sampai aku tak punya kesempatan untuk menjawab.” Padahal jawaban sebenarnya, aku belum tahu bisa melanjutkan apa tidak. Mengingat kondisi perekonomian orang tuaku yang tidak menentu. “Ya…ya… insyaAllah kita daftar sama-sama.” Jawabku sekadar untuk melegakan Lastri. Padahal aku sendiri tak yakin dengan dengan jawabanku. Perkataan simbok kemarin menjadi firasat buruk. Entahlah perasaanku tak enak, bawaanku ingin pulang saja. Tadi saja di sekolah tiga kali aku terantuk batu sampai Lastri nyeletuk

“Kamu ngelamunin siapa to Tin, jalan kok nabrak-nabrak, sampai nggak lihat batu besar. Hayo… pasti nglamunin Satrio ya?
“Eh ngapain juga mikirin Rio ya mikirin kelulusanlah. Rio kan sudah ada yang punya.
“Emangnya dia sudah punya pacar? Kok aku belum tahu sih , siapa to Tin Pacarnya? Pasti cantik dong?”
“Aku nggak bilang Rio punya pacar. Aku hanya bilang Rio sudah ada yang punya.”
“Yang jelas Tin kalo ngomong, maksudmu Rio sudah punya calon istri gitu?
“Kejauhan kamu mikirnya. Maksudku Rio itu sudah ada yang punya yaitu bapak dan ibunya. Jadi kita nggak usah repot-repot mikirin dia.” Terang saja Lastri mencubitku dan kita tertawa-tawa lagi Benar-benar menyenangkan dapat tertawa lepas tanpa beban.
Mataku dari tadi kedutan aja kata orang sih ada yang ngrasani. Tapi sudah kubilang aku tidak percaya dengan berbagai mitos itu. Kata guru agamaku sebagai seorang nuslim kita tidak boleh mempercayai mitos. Dan kalaupun mitos itu terjadi, itu sekadar kebetulan saja. Orang kampung memang banyak mitos misalnya kalau ada kupu-kupu masuk rumah katanya mau ada tamu. Ya kupu-kupu itu tamunya. Kalau ada burung gagak di atas rumah katanya ada yang akan meninggal. Kalau kejatuhan cicak tepat di kepala katanya mau mati. Memangnya cicak itu asistennya malaikat Izrail? Dan masih banyak lagi mitos-mitos yang berkembang di masyarakat..
Aku, Lastri dan Satrio adalah tiga sahabat sejak SD bahkan TK. Maklum kami satu desa. Dan oleh Lastri aku sering dijodoh-jodohkan dengan Satrio. Aku sih belum mikir. Masih bau kencur kok mikir pacar mending mikirin masa depan agar bisa hidup lebih baik dari orang tuaku.

Aku dan Lastri berpisah di ujung jalan. Kami memang beda gang. Aku mengayuh sepeda dengan kencang agar cepat sampai rumah dan menyampaikan kabar gembira pada orangtuaku. Saat aku sampai di depan rumah, loh di depan rumahku kok ada motor. Wah ada tamu. Tapi siapa ya? Orang miskin seperti kami tidak pernah terima tamu pakai motor. . Oh ternyata Juragan Sastro dan istrinya. Ada apa ya mereka ke rumahku? Jangan-jangan orang tuaku tanpa sepengetahuanku mempunyai hutang pada mereka. Mereka kan lintah darat. Sepertinya sih menolong tapi sebenarnya mencekik . Belum sempat anganku mengembara terlalu jauh, terdengar suara Bu Sastro yang menyapaku.

Wah, kartini sudah besar ya dan makin cantik. Pantas menjadi kembang desa dan pantas juga si Joko tergila-gila. Seingatku dulu kamu masih kecil Nduk?” Kata Bu Sastro ramah sambil mencubit pipiku.

Orang tuaku kelihatan bangga mendengar anaknya dipuji dan aku hanya bisa tersenyum dalam kebingungan. sambil memandang kepergian para tamuku. Setelah itu bergegas masuk rumah, ganti baju dan siap-siap menuju dapur untuk makan siang. Perut keroncongan dari tadi minta diisi. Bakso dan es degan traktiran Lastri sudah habis untuk mengayuh sepeda dan bercanda sepanjang jalan.

Wah di meja makan ada panggang ayam dan kue bolu kesukaanku. Aku tidak segera mengambilnya. Aku bergegas ke depan untuk mencari kejelasan makanan lezat yang ada di meja makan.
Lamunanku terpaksa kubuyarkan saat terdengar teriakan Mas Joko sambil menggedor-gedor pintu. Tin…Tini…buka pintunya Tin. Cepat….aku tidak kuat Tin. Dasar istri brengsek, disuruh buka pintu kok malah diam saja.

Aku sudah terbiasa mendengar teriakan Mas Joko di tengah malam seperti ini. Tapi kali ini teriakan Mas Joko berbeda, makin lama makin lemah. Dan samar-samar kudengar Mas Joko merintih kesakitan. Aku bergegas membuka pintu. Karena bingungku aku sampai berkali-kali aku salah memasukkan kunci. Ketika kubuka Kulihat Mas Joko sudah terbujur kaku dan mulutnya berbusa. Kepalaku terasa pusing melihat pemandangan di depanku.Mataku semakin lama semakin kabur. Rumah seakan bergoyang-goyang. Semakin lama semakin kencang .

http://adindasafira.blogspot.co.id/2010/08/namaku-kartini-bukan-siti-nurbaya.html

0 Response to "NAMAKU KARTINI, BUKAN SITI NURBAYA"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel